Sabtu, 10 Januari 2009

Selasa, 25 November 2008, menjelang pukul 4 sore. Langit cerah dan cuaca panas perlahan berubah menjadi mendung saat aku hadir di pemakaman itu. Perlahan-lahan sosok kaku berbalut kafan diturunkan menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Isak tangis perlahan, suasana haru dan sunyi menyelimuti pemakaman. Suara azan dilafazkan dan doa-doa dipanjatkan memohon keridhaan Sang Pencipta untuk menerima jiwa yang telah terbebas dari raganya.Inilah pertama kalinya aku kembali menghadiri sebuah pemakaman setelah bertahun-tahun yang lalu. Sejujurnya, ada perasaan takut, yang mungkin tidak beralasan, untuk bisa tetap tinggal hingga ritual pemakaman berakhir. Berulangkali aku hanya datang pada saat acara takziyah atau sebelum mayit dikuburkan. Namun hari ini, walaupun mungkin awalnya tidak direncanakan, aku mengantarkan sang jasad kepada tempatnya kembali. Suara azan dilafazkan, doa-doa dipanjatkan, isak tangis mengiringi kepergian. Tiba-tiba aku terhenyak dan tersadar bahwa di hadapanku saat ini, terhampar kenyataan hidup hakiki seorang anak manusia. Terlahir ke dunia, menjalani kehidupannya yang berwarna, untuk kemudian kembali pada-Nya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada harta yang dibawa, rekan, teman, kerabat, jabatan, pangkat, kehormatan, gelar dan semuanya akan ditinggalkan begitu saja. Langit di atas masih berwarna kelabu ketika perlahan-lahan tubuh kaku itu ditimbun tanah. Perlahan sekali namun pasti, ada kesadaran yang mengalir pelan di urat nadi dan detak jantung. Kesadaran akan hakikat hidup sebenarnya dan esensi dari keberadaan manusia. Kenyataan tak terelakkan dan tak bisa ditawar-tawar tentang hidup dan kehidupan. Kenyataan pada akhirnya kita harus kembali, tak peduli apa yang telah kita capai dan setinggi apapun derajat kita di mata manusia dan seberkuasa apapun Kita. Kenyataan bahwa pada dasarnya Kita adalah makhluk yang lemah dan sendirian, dan tidak akan pernah bisa mengelak dari kematian.Aku menarik nafas dalam-dalam, menghela sesak yang tiba-tiba datang. Sebagai manusia, apa yang sudah kupersiapkan untuk menjelang kematian yang sewaktu-waktu bisa saja datang? Akankah keberadaanku sebagai manusia harus selesai begitu saja ketika maut datang menjelang? Akankah rekam jejak hidupku hanya akan penuh dengan hal-hal remeh-temeh tentang kehidupan sehingga membuatku mungkin tidak pantas untuk dikenang? Tubuhku bergetar mengingatnya karena sejauh ini mungkin hal itulah yang kulakukan.

Tuhan, bantu Aku untuk terus mengerti dan memahami hakikat hidup ini. Tuhan, Bantu aku untuk meletakkan dunia di tanganku dan bukan di hatiku. Tuhan, bantu aku untuk selalu ikhlas, apapun yang terjadi, seburuk apa pun kejadian yang kualami. Tuhan, Bantu aku agar terus dapat memberi dan berbagi dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Amin ya Rabbal Alamin…

Nasionalisme yang Lain

Menjelang perayaan hari kemerdekaan kita, saya ingin berefleksi sedikit tentang makna kemerdekaan dan kembali mempertanyakan apakah kita sudah benar-benar merdeka?Refleksi ini mungkin akan saya awali dengan cerita tentang seorang teman yang baru saja menyekolahkan anaknya.

Sebagaimana layaknya ibu-ibu yang memiliki batita/balita, informasi tentang sekolah merupakan salah satu informasi berharga buat saya.Diawali dengan basa-basi menanyakan seputar kabar, ngobrol pun berlanjut ke pertanyaan tentang sekolah anaknya yang merupakan salah satu sekolah swasta terbaik yang ada di depok. Menurut sang teman,meskipun sebenarnya tidak terlalu puas, tapi sejauh ini semuanya oke-oke saja.

Komentar tersebut kemudian dilanjutkan dengan pernyataan sang teman yang kemudian menjadi bahan renungan saya, "tapi you knowlah Put, sejauh ini sekolah itulah yang terbaik di depok. Di depok kan nggak ada sekolah yang benar-benar national plus atau international gitu, jadi gue gak punya pilihan lain. Sebenarnya kalo di depok ada sekolah yang lebih berstandar international seperti highscope atau Cibun gitu, gue lebih milih nyekolahin di situ. Anak guekan masih kecil, jadi kasihan kalo musti sekolah jauh-jauh.Ntar kalo dia SD, mungkin gue akan masukin Cibun".

Saya sedikit terdiam mendengarkan pernyataan teman tersebut dan kemudian mencoba mencari tahu kenapa sebenarnya dia sangat ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang ada kata internationalnya atau national plus (yang menurut dia yang benar-benar national plus bukan cuma embel-embel). Kualitas, itu alasan utamanya, yang diukur dari metode pengajaran yang berbeda dengan sekolah biasa dan dua bahasa.

Sampai di sini saya kemudian merenung kembali. Hal ihwal sekolah dua bahasa ini sebenarnya sudah lama menarik perhatian saya dan sedikit mengusik nasionalisme saya. Dulu, seorang teman yang lain pernah bercerita bahwa salah satu sekolah berstandar internasional (bukan sekolah internasional) di kawasan Kelapa Gading hanya menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajarannya saja, bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Inggris. Waktu itu saya berseloroh, wah kalau gitu harusnya sekolahnya jangan di Indonesia dong, kan bahasa Indonesia cuma mata pelajaran saja.

Saya tidak tahu dan mungkin juga sedikit bodoh tentang hal ini, namun cerita teman ini membuat saya bertanya-tanya, apakah ada negeri lain selain negeri kita yang menjadikan bahasa ibunya sebagai salah satu mata pelajaran saja dan bukan bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan? Salah satu mata pelajaran saja itu bisa berarti 60 menit dalam seminggu atau 2×60 menit dalam seminggu. Negeri mana yang begitu tidak bisa menghargai bahasa sendiri selain negara kita?

Lain waktu ketika saya sedang berjalan-jalan dengan keluarga, saya kembali terusik dengan pernyataan besar-besar pada sebuah baliho kursus bahasa, kunci sukses adalah matematika dan bahasa Inggris. Saya merasa terganggu sekali dengan pernyataan tersebut dan ingin bertanya secara langsung kepada pembuat pernyataan itu, dalil apa gerangan yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan yang menurut saya norak betul.

Bahasa merupakan representasi suatu bangsa, merupakan salah satu identitas yang dimiliki sekelompok orang yang menyatukan dirinya pada apa yang disebut negara. Bahasa menurut saya pribadi adalah pengikat saya dengan kenangan masa kecil saya, pada hal-hal yang saya cintai. Bahasa menjadi oase yang memiliki energi penyembuh ketika saya rindu pada kampung halaman. Lebih dari segala-galanya, bahasa adalah identitas saya.

Karena merupakan identitas, bahasa kemudian bukanlah perkara yang sederhana menurut saya. Identitas seseorang merupakan salah satu patokan awal yang digunakan oleh orang lain untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Lebih dari itu, identitas juga menunjukkan siapa diri kita dan bagaimana kita berpikir dan bertindak. identitas membentuk persepsi kita tentang diri kita sendiri yang mempengaruhi penghargaan terhadap diri.Ketika bahasa merupakan identitas yang berharga, pertanyaan saya kemudian adalah maukah kita menukar identitas itu dengan yang lain? Maukah kita menjelma menjadi orang lain dengan menukar identitas diri? Sebegitu buruknyakah kita sehingga merasa perlu untuk berganti identitas?

Saya menyadari sepenuhnya, krisis yang bertubi-tubi yang terjadi di Indonesia mungkin membuat kita seolah hilang harapan dan malu menjadi bangsa Indonesia. Bangsa kita yang jauh tertinggal bahkan dibandingkan dengan negara tetangga yang hobi merampas apa yang kita miliki, membuat kita tidak bisa mendongak dan merasa sejajar dengan yang lain. Krisis dan kegagalan demi kegagalan membuat kita merasa tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari bangsa ini, tidak ada lagi yang baik, yang ada hanya kejelekan semata.Benarkah demikian? Sungguhkah benar-benar demikian?

Ketika saya membaca sebuah artikel di nakita yang memuat pernyataan seorang psikolog bahwa pemikiran Maria Montessori, sang tokoh penggagas Metode Montessori yang digandrungi banyak kalangan pendidikan, sebenarnya filosofinya hampir mirip dengan apa yang dicanangkan Ki Hajar Dewantara dan Pak Kasur. Saya bertanya-tanya. Pertanyaan ini kemudian mendorong saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara, selain tut wuri handayani, dan Pak Kasur sebenarnya? Hasilnya, filosofi dasarnya memang sama. Mereka (Maria Montessori, Ki Hajar Dewantara dan Pak Kasur) menawarkan pemikiran yang sama : perlakukan anak sebagai seorang individu, biarkan mereka belajar dengan caranya, tugas guru hanya memfasilitasi saja. Selain itu, pemikiran bahwa anak tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial yang ada di sekitarnya dan mendidik itu bukan hanya soal kognitif belaka, telah lama didengungkan oleh Ki Hajar Dewantara.Kalau sudah begini, masih malukah kita?

Kembali kepada perkara sekolah dua bahasa dan berstandar atau berkurikulum internasional tadi. Saya kemudian juga sempat bertanya-tanya, ketika seorang anak disekolahkan di sekolah yang sebagian besar percakapannya menggunakan bahasa Inggris dan kemudian di rumah pun menggunakan bahasa Inggris meskipun campur aduk, pertanyaan kemudian adalah identitas seperti apa yang sedang dibentuk sang anak? Saya merupakan anak Indonesia atau saya anak Indonesia yang kurang lancar berbahasa Indonesia dan lebih fasih berbahasa asing? Kalau begitu, siapa saya sebenarnya, orang asing atau orang Indonesia?

Memang seringkali terdengar lebih keren ketika seseorang lancar berbahasa asing atau bicara dengan bahasa campur sari. Saya sendiri pun dan mungkin hingga sekarang berbicara dengan bahasa yang terkadang tercampur-campur. Namun, jika seorang anak yang dari sejak dini terbiasa lebih sering menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian lebih sering berinteraksi dengan orang lain dengan bahasa yang sama, kira-kira gambaran generasi seperti apakah yang akan tercipta?

Ketika kemudian kenyataan juga menunjukkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa asing ini ada di masyarakat di kelas sosial menengah-atas, mereka yang umumnya berpendidikan bagus dan berpenghasilan bagus dan mungkin jumlahnya hanya 10 % bangsa ini, dan mereka juga akan cenderung berinteraksi dengan sesama mereka, maka gambaran generasi apa yang kira-kira yang ada?

Ketika kemudian bahasa ternyata sangat berkaitan erat dengan kultur dan gaya hidup, maka bocah-bocah yang terbiasa berbicara dengan bahasa asing seringkali lebih sering berinteraksi dengan bocah-bocah lain yang memiliki gaya hidup yang sama, manusia Indonesia macam apa yang akan ada di depan kita?

Mungkin saya terlalu skeptis ketika saya menyatakan, saya takut bocah-bocah ini nanti akan berkembang menjadi pribadi elitis yang hanya bergaul dengan segelintir orang dengan latar belakang yang sama dan sama sekali tidak lancar berbahasa Indonesia dan tidak paham budaya Indonesia. Mungkin saya terlalu paranoid jika saya takut bocah-bocah ini akan berkembang menjadi generasi yang hilang, mereka yang memiliki 90% kekayaan negeri ini, cerdas, pintar, sehat dan cantik, potensi yang besar untuk bangsa Indonesia, namun tercerabut dengan akarnya. Tidak tahu ada berapa provinsi diIndonesia, tidak tahu siapa itu Soekarno-Hatta, tidak tahu bahwa bendera Indonesia adalah bendera merah putih dan tidak kenal apa itu gotong royong. Memikirkannya membuat saya menjadi sangat sedih sekali.

Kesedihan saya semakin bertambah ketika saya melihat artikel di Koran tentang bocah-bocah yang terkena busung lapar, morat-marit pendidikan kita dan karut marutnya situasi politik. Mereka yang punya potensi besar untuk memperbaiki negeri dengan segala kesempatan yang Tuhan berikan padanya, mungkin suatu hari nanti karena pola pikir yang ditanamkan sejak kecil dan tidak adanya keterikatan yang mendalam (toh bahasa dan pergaulannya mendunia) memilih hengkang dan menjadi bagian dari negara lain.

Tinggallah negeri kita diisi oleh generasi-generasi yang karena ketololan pemerintahnya dalam membentuk sistem pendidikan (meninggalkan filosofi pendidikan sang Bapak Pendidikan dalam sistem pendidikan), menjadi warga dunia kelas dua (bahkan mungkin tiga) dan tetap berstatus bukan apa-apa di mata dunia.

Saya sesungguhnya, sangat benci untuk berpikir seperti ini, namun ketika membaca kembali artikel nakita tentang alasan mengapa orang tua menyekolahkan anaknya, ketakutan saya seperti nyata. Dalam artikel tersebut seorang ibu mengatakan dengan jelas bahwa dia memilih sekolah berstandar internasional bagi anaknya agar sang anak memiliki pergaulan internasional dan berinteraksi dengan teman-teman dengan latar belakang yang sama. Ibu tersebut sama sekali tidak keberatan jika anaknya pindah kewarganegaraan dan tidak mau lagi pulang ke Indonesia. Baginya negeri ini sudah tidak pantas lagi diharapkan karena tidak lagi bisa menjanjikan apa-apa. Kalau begitu, untuk apa para pahlawan kita dulu berjuang angkat senjata demi mengusir penjajah dari bumi Indonesia ini jika kemudian kita, generasi sesudahnya sangat malu menjadi bangsa Indonesia dan memilih hengkang daripada berusaha membenahinya.

Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)

Libur lebaran lalu, saat saya mudik ke kampung halaman, salah satu kakak saudara ipar saya tertimpa musibah kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan anaknya yang masih berusia batita harus dirawat di rumah sakit. Saat itu si kakak dari ipar saya ini sedang naik motor dengan dibonceng oleh suaminya yang dikemudikan dengan kecepatan rendah. Tiba-tiba motor mereka ditabrak dari belakang oleh pengemudi motor lain yang masih berusia sekolah. Singkat cerita, kecelakaan ini menimbulkan kehebohan di keluarga ipar saya.

Ada satu komentar ipar saya yang menginspirasi saya untuk menuliskan tentang topik ini untuk newsletter kali ini. Saat itu dengan sedikit marah, ipar saya mengomentari tentang perilaku Ibu pelaku tabrakan yang dinilainya “tidak sensitive”. “Bayangkan kak, boro-boro minta maaf atas kelakuan anaknya, dia malah datang dan bilang kalau terserah sama kita anaknya mau diapain. Mau dipenjara juga gak apa-apa. Katanya dia udah bosan ama kelakuan anaknya. Kita sih gak peduli lah sama masalah dia ama anaknya. Yang pentingkan, dia ngelakuin apa kek buat nunjukin turut prihatin. Gimanapun itukan anaknya. Gak usah bantuin biaya pengobatan deh, cukup minta maaf aja rasanya kita juga dah senang. Gak perlu komentar macam-macam. Orang kita juga lagi pusing malah dibikin tambah pusing”. Kata-kata si ipar saya, yang notabene bukan lulusan psikologi ini membuat saya tersadar, bahwa sebenarnya ilmu yang Saya pelajari selama ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Cerita di atas sangat berkaitan erat dengan topik bantuan awal psikologis (Psychological First Aid) yang sedang sering dibahas di Puskris, namun lebih ke dalam setting kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, Kita sering menghadapi apa yang dinamakan dengan insiden kritis. Insiden kritis merupakan suatu kejadian atau situasi yang melibatkan emosi yang cukup besar, sehingga menuntut keterampilan mengatasi/menghadapi masalah secara berbeda dengan biasanya, meskipun orang yang mengalaminya tetap memiliki kapasitas untuk pulih. Insiden kritis ini dapat terjadi pada tiap individu. Cerita yang mengawali artikel ini merupakan salah satu contoh insiden kritis yang baru saja dialami keluarga saya. Masih banyak contoh-contoh lain yang mungkin dialami oleh orang sekitar kita, seperti kematian, terkena PHK, putus cinta, dimarahi atasan dan lain sebagainya.

Saat insiden kritis terjadi, individu yang mengalaminya merasakan berbagai perasaan negatif seperti marah, kecewa, sedih, menyesal dan lain sebagainya. Insiden kritis ini menyebabkan stress dan munculnya luka psikologis pada individu. Beda dengan luka fisik yang terlihat, luka psikologis tidak terlihat, hanya muncul lewat reaksi-reaksi, dimana kadang kala individu sendiri tidak menyadari jika reaksi tersebut disebabkan oleh stress insiden kritis. Banyak cara untuk menyembuhkan luka ini. Selain pemulihan dapat dilakukan oleh Individu pribadi lewat teknik-teknik manajemen stress (seperti relaksasi, kemampuan problem solving, dan lain sebagainya), peranan orang lain yang berada di sekitar individu, merupakan hal yang sangat penting. Respon orang-orang terdekat individu (significant others) turut menentukan apakah keadaan Individu yang mengalami insiden kritis tersebut menjadi bertambah baik, atau bahkan bertambah buruk.

Masalahnya sekarang apa yang dapat dilakukan oleh orang lain, yang berada di sekitar Individu yang mengalami insiden kritis, yang dapat meringankan beban orang tersebut? Apa yang dapat dilakukan oleh kita, saat sahabat, adik, kakak, atau keluarga kita mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan? Banyak orang yang merasa kebingungan bagaimana seharusnya bereaksi secara tepat saat berhadapan dengan orang lain yang menghadapi insiden kritis. Apakah cukup dengan mengatakan belasungkawa, menepuk-nepuk pundak, merangkul, mendengarkan cerita berjam-jam atau ikut menyalahkan?

Dalam bantuan awal psikologis, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk membantu meringankan beban psikologis mereka yang terkena insiden kritis. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah menjauhkan individu dari bahaya yang mengancam dan menyediakan kebutuhan primer yang mendesak bagi Individu tersebut. Langkah pertama ini dapat dilakukan terutama jika Individu yang mengalami terlihat membutuhkannya, seperti misalnya pasca terjadinya suatu kecelakaan, korban yang mungkin luka ringan, atau saksi mata langsung kejadian, mungkin dapat dibantu untuk pindah ke tempat yang lebih aman dan diberikan minuman. Kita juga dapat menawarkan bantuan untuk membawa korban ke dokter, jika membutuhkan pengobatan fisik.

Hal kedua dan mungkin komponen paling penting dalam pertolongan pertama psikologis adalah mendengarkan apa yang disampaikan oleh individu yang mengalami insiden kritis. Mereka yang mengalami insiden kritis seringkali butuh untuk bercerita untuk membantu meredakan ketegangan emosi yang dialami. Sebagai contoh misalnya saat kita berkonflik dengan atasan atau rekan kerja, pasca kejadian tersebut biasanya kita akan mencari orang terdekat untuk curhat dan melepaskan uneg-uneg. Masalah curhat ini sekilas nampaknya sepele, hanya mendengarkan apa yang disampaikan dan dikeluhkan oleh orang yang sedang bercerita. Namun ternyata dampak curhat dan cara kita menanggapi curhat ini, bisa memperbaiki atau malah memperparah kondisi psikologis orang yang bercerita tersebut.

Bayangkan suatu saat setelah bertengkar dengan atasan atau rekan kerja, anda kemudian pulang ke rumah dan dengan emosi yang berkecamuk ingin segera menceritakan pada suami/sahabat tentang apa yang Anda alami hari ini. Anda begitu bersemangat bercerita, namun kemudian tanggapan suami/sahabat seadanya saja, bahkan cenderung cuek. Tidak memperhatikan saat Anda berbicara, sibuk mengerjakan hal lain, atau terlihat seperti mendengarkan, tapi ketika Anda meminta pendapatnya, dia kelabakan karena pada dasarnya tidak mendengarkan dengan sepenuh hati apa yang Anda katakan. Bagaimana perasaan Anda? Bertambah kesal dan mungkin saja tersinggung tentunya. Terlebih lagi jika kemudian komentar yang Anda dengar tidak sesuai dengan apa yang Anda inginkan, seperti berbalik menyalahkan Anda karena terlalu mudah terpancing dan lain sebagainya. Rasanya mungkin saat itu Anda ingin berbalik memaki-maki teman atau suami Anda itu.

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya mendengarkan yang tepat itu? Mendengar yang baik atau mendengar aktif pada dasarnya melibatkan seluruh pikiran, jiwa dan raga Anda pada saat proses mendengarkan. Mendengar aktif melibatkan ketulusan dan kesungguhan untuk mendengar, jadi tidak bisa dilakukan sambil lalu. Mendengar aktif juga melibatkan dan memperhatikan bahasa verbal dan bahasa tubuh lawan bicara maupun kita sendiri, dan berhati-hati dengan kesan yang ditimbulkannya. Seperti misalnya tidak celingak-celinguk saat mendengarkan, atau tidak memandang ke arah lain saat lawan bicara sedang berbicara.Selain itu mendengar aktif juga tidak menghakimi apa yang dikatakan lawan bicara, meskipun mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang kita anut. Misalnya tidak mengatakan “aduh, lo kok gitu sih? Mau aja dibego-begoin sama bos lo!” pada saat mendengarkan cerita teman tentang kelakuan si bos yang memarahi dia di depan umum. Atau seperti contoh kasus ipar saya, orang tua pelaku malah menyalahkan dan menceritakan kenakalan anaknya daripada bertanya kondisi keponakan ipar saya yang terpaksa dirawat inap di rumah sakit, misalnya.

Mendengar aktif juga mencoba menggali dan merefleksikan kembali makna dan emosi yang dialami oleh lawan bicara, sehingga lawan bicara mendapatkan gambaran yang jelas dari apa yang dirasakannya. Seringkali orang yang mengalami insiden kritis atau peristiwa yang tidak menyenangkan, emosi negatif yang dialaminya bermacam-macam dan bercampur-aduk. Mendengar aktif mencoba membantu mengidentifikasi emosi tersebut sehingga orang yang bercerita mengetahui perasaan yang dialaminya dan memperjelas apa yang dirasakan sebenarnya. Misalnya saat dimarahi bos, dia menyadari yang dialaminya adalah perasaan malu karena dimarahi di depan umum, sehingga menimbulkan marah pada bos yang telah mempermalukannya di depan umum. Terdengar mudah? Tidak juga, karena pada praktiknya kita seringkali merasa gemas dan tidak sabar sehingga menjatuhkan penilaian atau memotong apa yang disampaikan oleh lawan bicara karena menurut kita tidak seharusnya dia bertindak demikian. Sulit? Tidak juga, karena hal ini sebenarnya bisa dilatih dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal lain yang penting diingat saat mendengar aktif adalah tidak memaksa seseorang untuk bicara atau menerima bantuan kita. Kadang kala seseorang membutuhkan waktu untuk sendiri setelah peristiwa kritis yang dialaminya. Berikan kesempatan tersebut padanya sembari mengatakan bahwa kita akan selalu ada jika sewaktu-waktu dia ingin bicara. Kehadiran kita, menemani dalam diam saja mungkin juga sudah cukup menghibur dan meringankan luka psikologis yang dialaminya. Pada prinsipnya sensitif dengan apa yang dibutuhkan oleh individu yang mengalami insiden kritis, akan membantu kita mengambil tindakan yang benar dalam membantunya.

Tahap terakhir yang dapat dilakukan dalam pemberian bantuan awal psikologis adalah membantu mereka yang mengalami insiden kritis untuk kembali menjalani rutinitasnya. Pada kasus-kasus insiden kritis yang ringan, seseorang mungkin dapat pulih dengan cepat setelah peristiwa yang dialaminya. Namun pada kasus-kasus tertentu, terutama yang melibatkan kehilangan, seseorang terkadang membutuhkan bantuan untuk memulai kembali rutinitasnya.

Jagalah terus kontak dengan tetap menghubungi teman/ sahabat/saudara yang mengalami insiden kritis tersebut, untuk mengetahui hal-hal apa yang dapat menghambatnya untuk pulih seperti sebelumnya (kembali kepada rutinitas) dan bantuan apa yang kira-kira dapat kita berikan. Kontak yang terjaga juga membantu individu untuk tidak merasa sendiri dan menyadari bahwa ada banyak orang di sekitarnya yang peduli padanya. Itu akan menjadi obat yang mujarab untuk memperbaiki kondisinya. Selain itu, dengan terjaganya hubungan, kita juga dapat mengetahui apakah individu ini membutuhkan bantuan lebih lanjut dari tenaga yang lebih ahli dalam kesehatan mental untuk membantunya pulih. Hal ini untuk mencegah masalah berkembang menjadi lebih sulit.