Sabtu, 10 Januari 2009

Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)

Libur lebaran lalu, saat saya mudik ke kampung halaman, salah satu kakak saudara ipar saya tertimpa musibah kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan anaknya yang masih berusia batita harus dirawat di rumah sakit. Saat itu si kakak dari ipar saya ini sedang naik motor dengan dibonceng oleh suaminya yang dikemudikan dengan kecepatan rendah. Tiba-tiba motor mereka ditabrak dari belakang oleh pengemudi motor lain yang masih berusia sekolah. Singkat cerita, kecelakaan ini menimbulkan kehebohan di keluarga ipar saya.

Ada satu komentar ipar saya yang menginspirasi saya untuk menuliskan tentang topik ini untuk newsletter kali ini. Saat itu dengan sedikit marah, ipar saya mengomentari tentang perilaku Ibu pelaku tabrakan yang dinilainya “tidak sensitive”. “Bayangkan kak, boro-boro minta maaf atas kelakuan anaknya, dia malah datang dan bilang kalau terserah sama kita anaknya mau diapain. Mau dipenjara juga gak apa-apa. Katanya dia udah bosan ama kelakuan anaknya. Kita sih gak peduli lah sama masalah dia ama anaknya. Yang pentingkan, dia ngelakuin apa kek buat nunjukin turut prihatin. Gimanapun itukan anaknya. Gak usah bantuin biaya pengobatan deh, cukup minta maaf aja rasanya kita juga dah senang. Gak perlu komentar macam-macam. Orang kita juga lagi pusing malah dibikin tambah pusing”. Kata-kata si ipar saya, yang notabene bukan lulusan psikologi ini membuat saya tersadar, bahwa sebenarnya ilmu yang Saya pelajari selama ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Cerita di atas sangat berkaitan erat dengan topik bantuan awal psikologis (Psychological First Aid) yang sedang sering dibahas di Puskris, namun lebih ke dalam setting kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, Kita sering menghadapi apa yang dinamakan dengan insiden kritis. Insiden kritis merupakan suatu kejadian atau situasi yang melibatkan emosi yang cukup besar, sehingga menuntut keterampilan mengatasi/menghadapi masalah secara berbeda dengan biasanya, meskipun orang yang mengalaminya tetap memiliki kapasitas untuk pulih. Insiden kritis ini dapat terjadi pada tiap individu. Cerita yang mengawali artikel ini merupakan salah satu contoh insiden kritis yang baru saja dialami keluarga saya. Masih banyak contoh-contoh lain yang mungkin dialami oleh orang sekitar kita, seperti kematian, terkena PHK, putus cinta, dimarahi atasan dan lain sebagainya.

Saat insiden kritis terjadi, individu yang mengalaminya merasakan berbagai perasaan negatif seperti marah, kecewa, sedih, menyesal dan lain sebagainya. Insiden kritis ini menyebabkan stress dan munculnya luka psikologis pada individu. Beda dengan luka fisik yang terlihat, luka psikologis tidak terlihat, hanya muncul lewat reaksi-reaksi, dimana kadang kala individu sendiri tidak menyadari jika reaksi tersebut disebabkan oleh stress insiden kritis. Banyak cara untuk menyembuhkan luka ini. Selain pemulihan dapat dilakukan oleh Individu pribadi lewat teknik-teknik manajemen stress (seperti relaksasi, kemampuan problem solving, dan lain sebagainya), peranan orang lain yang berada di sekitar individu, merupakan hal yang sangat penting. Respon orang-orang terdekat individu (significant others) turut menentukan apakah keadaan Individu yang mengalami insiden kritis tersebut menjadi bertambah baik, atau bahkan bertambah buruk.

Masalahnya sekarang apa yang dapat dilakukan oleh orang lain, yang berada di sekitar Individu yang mengalami insiden kritis, yang dapat meringankan beban orang tersebut? Apa yang dapat dilakukan oleh kita, saat sahabat, adik, kakak, atau keluarga kita mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan? Banyak orang yang merasa kebingungan bagaimana seharusnya bereaksi secara tepat saat berhadapan dengan orang lain yang menghadapi insiden kritis. Apakah cukup dengan mengatakan belasungkawa, menepuk-nepuk pundak, merangkul, mendengarkan cerita berjam-jam atau ikut menyalahkan?

Dalam bantuan awal psikologis, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk membantu meringankan beban psikologis mereka yang terkena insiden kritis. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah menjauhkan individu dari bahaya yang mengancam dan menyediakan kebutuhan primer yang mendesak bagi Individu tersebut. Langkah pertama ini dapat dilakukan terutama jika Individu yang mengalami terlihat membutuhkannya, seperti misalnya pasca terjadinya suatu kecelakaan, korban yang mungkin luka ringan, atau saksi mata langsung kejadian, mungkin dapat dibantu untuk pindah ke tempat yang lebih aman dan diberikan minuman. Kita juga dapat menawarkan bantuan untuk membawa korban ke dokter, jika membutuhkan pengobatan fisik.

Hal kedua dan mungkin komponen paling penting dalam pertolongan pertama psikologis adalah mendengarkan apa yang disampaikan oleh individu yang mengalami insiden kritis. Mereka yang mengalami insiden kritis seringkali butuh untuk bercerita untuk membantu meredakan ketegangan emosi yang dialami. Sebagai contoh misalnya saat kita berkonflik dengan atasan atau rekan kerja, pasca kejadian tersebut biasanya kita akan mencari orang terdekat untuk curhat dan melepaskan uneg-uneg. Masalah curhat ini sekilas nampaknya sepele, hanya mendengarkan apa yang disampaikan dan dikeluhkan oleh orang yang sedang bercerita. Namun ternyata dampak curhat dan cara kita menanggapi curhat ini, bisa memperbaiki atau malah memperparah kondisi psikologis orang yang bercerita tersebut.

Bayangkan suatu saat setelah bertengkar dengan atasan atau rekan kerja, anda kemudian pulang ke rumah dan dengan emosi yang berkecamuk ingin segera menceritakan pada suami/sahabat tentang apa yang Anda alami hari ini. Anda begitu bersemangat bercerita, namun kemudian tanggapan suami/sahabat seadanya saja, bahkan cenderung cuek. Tidak memperhatikan saat Anda berbicara, sibuk mengerjakan hal lain, atau terlihat seperti mendengarkan, tapi ketika Anda meminta pendapatnya, dia kelabakan karena pada dasarnya tidak mendengarkan dengan sepenuh hati apa yang Anda katakan. Bagaimana perasaan Anda? Bertambah kesal dan mungkin saja tersinggung tentunya. Terlebih lagi jika kemudian komentar yang Anda dengar tidak sesuai dengan apa yang Anda inginkan, seperti berbalik menyalahkan Anda karena terlalu mudah terpancing dan lain sebagainya. Rasanya mungkin saat itu Anda ingin berbalik memaki-maki teman atau suami Anda itu.

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya mendengarkan yang tepat itu? Mendengar yang baik atau mendengar aktif pada dasarnya melibatkan seluruh pikiran, jiwa dan raga Anda pada saat proses mendengarkan. Mendengar aktif melibatkan ketulusan dan kesungguhan untuk mendengar, jadi tidak bisa dilakukan sambil lalu. Mendengar aktif juga melibatkan dan memperhatikan bahasa verbal dan bahasa tubuh lawan bicara maupun kita sendiri, dan berhati-hati dengan kesan yang ditimbulkannya. Seperti misalnya tidak celingak-celinguk saat mendengarkan, atau tidak memandang ke arah lain saat lawan bicara sedang berbicara.Selain itu mendengar aktif juga tidak menghakimi apa yang dikatakan lawan bicara, meskipun mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang kita anut. Misalnya tidak mengatakan “aduh, lo kok gitu sih? Mau aja dibego-begoin sama bos lo!” pada saat mendengarkan cerita teman tentang kelakuan si bos yang memarahi dia di depan umum. Atau seperti contoh kasus ipar saya, orang tua pelaku malah menyalahkan dan menceritakan kenakalan anaknya daripada bertanya kondisi keponakan ipar saya yang terpaksa dirawat inap di rumah sakit, misalnya.

Mendengar aktif juga mencoba menggali dan merefleksikan kembali makna dan emosi yang dialami oleh lawan bicara, sehingga lawan bicara mendapatkan gambaran yang jelas dari apa yang dirasakannya. Seringkali orang yang mengalami insiden kritis atau peristiwa yang tidak menyenangkan, emosi negatif yang dialaminya bermacam-macam dan bercampur-aduk. Mendengar aktif mencoba membantu mengidentifikasi emosi tersebut sehingga orang yang bercerita mengetahui perasaan yang dialaminya dan memperjelas apa yang dirasakan sebenarnya. Misalnya saat dimarahi bos, dia menyadari yang dialaminya adalah perasaan malu karena dimarahi di depan umum, sehingga menimbulkan marah pada bos yang telah mempermalukannya di depan umum. Terdengar mudah? Tidak juga, karena pada praktiknya kita seringkali merasa gemas dan tidak sabar sehingga menjatuhkan penilaian atau memotong apa yang disampaikan oleh lawan bicara karena menurut kita tidak seharusnya dia bertindak demikian. Sulit? Tidak juga, karena hal ini sebenarnya bisa dilatih dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal lain yang penting diingat saat mendengar aktif adalah tidak memaksa seseorang untuk bicara atau menerima bantuan kita. Kadang kala seseorang membutuhkan waktu untuk sendiri setelah peristiwa kritis yang dialaminya. Berikan kesempatan tersebut padanya sembari mengatakan bahwa kita akan selalu ada jika sewaktu-waktu dia ingin bicara. Kehadiran kita, menemani dalam diam saja mungkin juga sudah cukup menghibur dan meringankan luka psikologis yang dialaminya. Pada prinsipnya sensitif dengan apa yang dibutuhkan oleh individu yang mengalami insiden kritis, akan membantu kita mengambil tindakan yang benar dalam membantunya.

Tahap terakhir yang dapat dilakukan dalam pemberian bantuan awal psikologis adalah membantu mereka yang mengalami insiden kritis untuk kembali menjalani rutinitasnya. Pada kasus-kasus insiden kritis yang ringan, seseorang mungkin dapat pulih dengan cepat setelah peristiwa yang dialaminya. Namun pada kasus-kasus tertentu, terutama yang melibatkan kehilangan, seseorang terkadang membutuhkan bantuan untuk memulai kembali rutinitasnya.

Jagalah terus kontak dengan tetap menghubungi teman/ sahabat/saudara yang mengalami insiden kritis tersebut, untuk mengetahui hal-hal apa yang dapat menghambatnya untuk pulih seperti sebelumnya (kembali kepada rutinitas) dan bantuan apa yang kira-kira dapat kita berikan. Kontak yang terjaga juga membantu individu untuk tidak merasa sendiri dan menyadari bahwa ada banyak orang di sekitarnya yang peduli padanya. Itu akan menjadi obat yang mujarab untuk memperbaiki kondisinya. Selain itu, dengan terjaganya hubungan, kita juga dapat mengetahui apakah individu ini membutuhkan bantuan lebih lanjut dari tenaga yang lebih ahli dalam kesehatan mental untuk membantunya pulih. Hal ini untuk mencegah masalah berkembang menjadi lebih sulit.

Tidak ada komentar: